Kamis, Mei 09, 2013

SELAYANG PANDANG BALAI HARTA PENINGGALAN

Apabila menyebut nama Balai Harta Peninggalan mungkin akan terasa “aneh dan asing” di telinga, karena lebih popular dengan sebutan BHP. Kalaupun dipaksakan dipanjangkan maka akan jadi Balai Peninggalan Harta (mereka menyebut juga BPH), Balai Pusaka, bahkan ada yang menyebut Museum. Dikalangan teman-teman kanwil Kemenkumham Jatim, BHP biasa disebut sebagai “anak tiri”, “anak kolonial Belanda”, atau “anak onthang-anthing”. Sangat jarang pula pejabat di Kanwil maupun tamu yang datang ke Kanwil dalam pembukaan sambutannya menyebut BHP, kecuali jamannya Kakanwil-nya Bapak Mashudi BHP seolah menjadi “anak emas” karena selalu disebut terakhir dan Ketua BHP disuruh berdiri. Sebenarnya apa sih Balai Harta Peninggalan itu ??. Sejarah BHP di Indonesia Keberadaan Balai Harta Peninggalan (BHP) dilingkungan Kanwil Kemenkumham secara administratif satu-satunya UPT yang berada di bawah Divisi Pelayanan Hukum (Yankum), tetapi secara teknis langsung berada dibawah kendali Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU). BHP yang pada jaman Belanda bernama Wees-en Boedelkamer atau Weskamer pertama kali didirikan di Jakarta yakni tanggal 1 Oktober 1624, sedangkan pendirian BHP didaerah lain sejalan pula dengan kemajuan-kemajuan territorial yang dikuasai VOC (Vereenigde Oost Indische Companie) atau oleh bangsa kita dikenal Kompeni. Tujuan pendirian BHP awalnya untuk memenuhi kebutuhan orang-orang VOC yaitu mengurus harta kekayaan yang ditinggalkan oleh mereka bagi kepentingan para ahli waris yang berada di Nederland, anak-anak yatim piatu dan sebagainya. Oleh karena itu pada era Orde Baru, BHP mengalami pasang-surut karena dianggap sebagai instansi peninggalan Belanda dan diskriminatif (melayani warga Negara/golongan tertentu). Terakhir pada waktu Menteri Kehakiman dijabat oleh Ismail Saleh antara tahun 1986-1987 seluruh kantor Perwakilan Balai Harta Peninggalan telah dihapus, sedang semua tugas teknis di Perwakilan dikembalikan/diserahkan kepada Balai Harta Peninggalan yang membawahinya. Sampai saat ini di Indonesia hanya ada 5 Balai Harta Peninggalan yaitu di Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan dan Ujung Pandang. Khusus wilayah kerja Balai Harta Peninggalan Surabaya meliputi 4 propinsi yaitu : Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah. Reaktualisasi BHP Pada saat ini para pemegang keputusan di tingkat pusat sedang fokus kemana arah BHP akan dikembangkan, karena keberadaan BHP sudah merupakan suatu kebutuhan. Sebab Undang-undang atau peraturan pendukung eksistensi BHP justru telah lebih dahulu ada seperti : UU No. 37/2004 tentang Kepailitan, UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 37/2011 tentang Transfer Dana, Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedelapan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 (tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja diserahkan kepada Balai Harta Peninggalan), Peraturan Menteri Negara/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 (Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dipakainya Surat Keterangan Hak Waris dari BHP sebagai keterangan waris yang sah) dan seterusnya. Disamping peraturan-peraturan yang “baru” tersebut, keberadaan BHP merupakan bagian dari kelengkapan hukum sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata/BW (Burgelijk Wetboek) yang tidak dapat dihilangkan begitu saja. Untuk itu Rancangan UU Balai Harta Peninggalan sudah mendesak untuk segera disahkan. Hal lain yang harus juga dilakukan adalah penambahan Sumber Daya Manusia yang “fresh graduate”. Mengutip kata sambutan dari Bapak Bambang Rantam (Sekjen Kemenkumham) pada pembukaan “Focus Group Discussion” (FGD) yang diselenggarakan oleh Biro Perencanaan di Hotel Maharadja - Jakarta pada tanggal 13-14 Nopember 2012 bahwa “ilmunya BHP belum tentu dapat dikuasai walaupun sudah bekerja lebih dari satu tahun”, artinya tetap waktulah yang akan mengujinya.